Menu Dropdown

Minggu, 09 November 2014

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Nama Kelompok:
·        Belli Febriani         21211456
·        Istiana Khairany    23211744
·        Isye Siti Sarah       23211746
·        Mifta Huljannah    24211468
·        Nisa Nur Hikmah  25211188
·        Nuriyanti Oktavia  25211357
·        Nurul Sukma Putri  25211411
·        Amanda Safrida     20211658
·        Benedictus A.        21211458
·        Iven Pundawa        27211989

JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN, VOL. 11, NO. 1, MEI 2009: 13-20

Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan,
dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas
Akuntan Publik

Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto
Trisakti School of Management
Email: arleen@stietrisakti.ac.id, siou_chiang@yahoo.com

ABSTRAK

Untuk mempertahankan kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. Adapun kompetensi tersebut adalah profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. Data diperoleh melalui kuisioner survei yang diisi oleh akuntan senior sampai partner yang bekerja di Kantor Akuntan Publik. Data dianalisis menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses  memeriksaan laporan keuangan.
Kata kunciProfesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan,etika profesi dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik.

PENDAHULUAN
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.
FASB dalam Statement of Financial Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk dapat mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.
Profesionalisme telah menjadi isu yang kritis untuk profesi akuntan karena dapat menggambarkan kinerja akuntan tersebut. Gambaran terhadap profesionalisme dalam profesi akuntan publik seperti yang dikemukakan oleh Hastuti dkk. (2003) dicerminkan melalui lima dimensi, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi.
Selain menjadi seorang profesional yang memiliki sikap profesionalisme, akuntan publik juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam profesinya untuk mendukung pekerjaannya dalam melakukan setiap pemeriksaan. Setiap akuntan publik juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), agar situasi penuh persaingan tidak sehat dapat dihindarkan. Selain itu, dalam perencanaan audit, akuntan publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian tujuan audit.
Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang dilakukan oleh Hastuti dkk. (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada (1) obyek penelitian, yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di Jakarta. Dengan mengambil KAP di Jakarta sebagai obyek penelitian diharapkan dapat merepresentasikan KAP di Indonesia karena sebagian besar KAP big 4 dan KAP non big 4 berada di Jakarta; (2) penambahan variabel independen, yaitu pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang diambil dari penelitian Sularso dan Na’im (1999), dan etika profesi yang diambil dari penelitian Murtanto dan Marini (1999). Akuntan yang lebih berpengalaman akan bertambah pengetahuannya dalam melakukan proses audit khususnya dalam memberikan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Selain pengetahuan, akuntan juga dituntut etika dalam profesinya sehingga pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan diberikan. Sewajarnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membuktikan secara empiris pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan secara empiris?

HIPOTESIS
H1: Profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

H2: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

H3: Etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1 Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas


METODE PENELITIAN
Obyek penelitian yang diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan akuntan publik yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas.
Metoda sampling yang digunakan adalah convenience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah. Data dikumpulkan melalui survai kuisioner yang dikirmkan kepada responden baik secara langsung atau melalui contact person. Jumlah kuisioner yang dikirimkan kepada responden sebanyak dua ratus, kuisioner yang direspon sebanyak seratus lima puluh.
Profesionalisme
Profesionalisme merupakan sikap seseorang profesionalisme terdiri dari dua puluh empat item instrument, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003), yang diukur dengan menggunakan tujuh poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik.
Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan
Sularso dan Na’im (1999) menyatakan akuntan yang memiliki pengetahuan dan keahlian secara profesional dapat meningkatkan pengetahuan tentang sebab dan konsekuensi kekeliruan dalam suatu siklus akuntansi. Variabel pengetahuan akuntan publik ini diukur dengan menggunakan sembilan belas item instrumen untuk mendeteksi macam–macam kekeliruan yang terjadi dalam siklus penjualan, piutang dan penerimaan kas. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan angka 1 dan 0, poin 1 diberikan jika jawaban responden sesuai dengan harapan penulis dan poin 0 diberikan jika jawaban responden tidak sesuai dengan harapan penulis.
Instrumen untuk mengukur variabel ini pernah digunakan oleh Sularso dan Na’im (1999) dan Fahmi (2002).
Etika Profesi
Etika profesi yang dimaksud pada penelitian ini adalah Kode Etik Akuntan Indonesia, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Etika profesi terdiri dari lima dimensi yaitu kepribadian, kecakapan profesional, tangung jawab, pelaksanaan kode etik, penafsiran dan penyempurnaan kode etik.
Terdapat delapan belas item instrumen yang digunakan untuk mengukur etika profesi dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Murtanto dan Marini (2003).
Materialitas
Materialitas adalah besarnya penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang dapat mempengaruhi pertimbangan pihak yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut (Mulyadi 2002:158). Item instrumen yang digunakan sebanyak delapan belas pernyataan dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003).
Alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah multiple regression analysis dengan model persamaan sebagai berikut:
Mat= β0+β1Prof+β2PAK+β3EP+β4LM+ β5Po+β6Pd+ β7G+ β8Um+ε (1)
Keterangan:
1) Mat: Materialitas;
2) Prof: Profesionalisme;
3) PAK: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan;
4) EP: Etika profesi;
5) LM: Lama Kerja;
6) Po: Posisi;
7) Pd: Pendidikan;
8) G: Gender;
9) Um: Umur;
10) ε= error term.

PEMBAHASAN
Dalam pengujian hipotesis, penelitian memasukan variabel karakteristik responden seperti lama bekerja di KAP, jabatan pekerjaan,tingkat pendidikan, gender dan umur yang merupakan variabel kontrol. Tujuan memasukan variabel kontrol adalah mengendalikan hasil penelitian agar tidak dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik responden.
.

 

Statistik deskriptif dapat dilihat dalam Tabel 2 dan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas

Hasil statistik deskriptif menunjukan bahwa rata-rata responden memberikan nilai pada variabel profesionalisme sebesar 5,420, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,865, etika profesi sebesar 6,004, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 5,327. Sedangkan untuk deviasi standar profesionalisme sebesar 0,755, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,179, etika profesi sebesar 0,767, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 0,569. Nilai minimum dan nilai maksimum yang diberikan responden untuk variabel profesionalisme sebesar 3,05 sampai dengan 7, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,24 sampai dengan 1, etika profesi sebesar 3,29 sampai dengan 7, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 3,44 sampai dengan 6,81.
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk menguji pemenuhan syarat regresi. Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa semua asumsi terpenuhi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain uji asumsi klasik, model regresi yang diajukan memenuhi kelayakan model terlihat dari nilai F8,136 sebesar 7,647 dengan p-value 0,000, artinya model regresi merupakan model yang baik guna dipakai dalam enyederhanaan dunia nyata.
Hasil pengujian hipotesis satu terlihat pada koefisien profesionalisme yang bernilai positif (0,231) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,004) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis satu terbukti. Hasil pengujian hipotesis satu menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis satu konsisten dengan hasil penelitian Hastuti dkk. (2003) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi profesionalisme akuntan publik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis dua terlihat pada koefisien pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang bernilai positif (0,613) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,01) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis dua terbukti. Hasil pengujian hipotesis dua menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Terbuktinya hipotesis dua konsisten dengan hasil penelitian Noviyani dan Bandi (2002) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis tiga terlihat pada koefisien etika profesi yang bernilai positif (0,233) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,002) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis tiga terbukti. Hasil pengujian hipotesis tiga menunjukkan bahwa etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis tiga konsisten dengan hasil penelitian Agoes (2004) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi akuntan publik mentaati kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Berdasarkan Tabel 3, hasil penelitian ini tidak terpengaruh oleh karakteristik dari responden, yaitu lama kerja dan posisi dalam Kantor Akuntan Publik, tingkat pendidikan, gender dan umur. Terbuktinya hipotesis satu, dua dan tiga tidak terpengaruh oleh karakterisitik-karakteristik tersebut.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini mendukung semua hipotesis dan konsisten dengan penelitian Hastuti dkk. (2003). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, pengetahuannya dalam mendeteksi kekeliruan dan ketaatannya akan kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya dalam melaksanakan audit laporan keuangan.
Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi Kantor Akuntan Publik dalam meningkatkan kinerja KAP secara keseluruhan dengan meningkatkan profesionalisme akuntan publik, memberikan pengetahuan yang memadai bagi akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi dalam setiap pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas. Bagi akuntan publik, menjadi sumber tambahan informasi bagi pertimbangan tingkat materialitas dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan klien, sehingga dapat meningkatkan prestasi dan kualitas audit serta dapat menambah pengetahuan serta pengalaman akuntan publik tersebut dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi sebagai seorang akuntan publik.

KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk penelitian berikutnya, yaitu penggunaan kuisioner dalam pengumpulan data mengenai pengaruh profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan mungkin akan berbeda apabila data diperoleh melalui penyampaian tatap muka langsung terhadap responden.
Kedua, penelitian ini hanya menguji pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Terakhir, pemilihan sampel dengan menggunakan teknik convinience sampling karena kemudahan dalam mendapatkan sampel sehingga kurang merepresentasikan populasi. Selain itu, pemilihan sampel yang hanya berlokasi di Jakarta mudah dijangkau kemungkinan akan memberikan kesimpulan yang tidak dapat  digeneralisasi untuk lokasi lainnya. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah (1) menyebarkan kuisioner dengan metoda wawancara atau terlibat tatap muka langsung dengan responden; (2) variabel penelitian dapat dikembangkan dengan menambah variabel lain mengenai kualitas audit, pengalaman akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan untuk menunjukkan apakah terdapat pengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko audit atau bisa melakukan uji beda dengan menggunakan sampel KAP Big Four dan Non Big Four; dan (3) menambah jumlah sampel dan memperluas lokasi pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta saja.



DAFTAR PUSTAKA


Agoes, S. (2004). Auditing, Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik. Jakarta: LPFE-UI.

Arens, A.A., RJ. Elder, M.S. Beasley. (2005). Auditing and Assurance Services, an Intergrated Approach, Prentice Hall, Pearson.

Fahmi, M. (2000). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dalam Mendeteksi Kekeliruan. Skripsi. Jakarta:Trisakti School of Management.

Hastuti, T.D., S.L. Indriarto dan C. Susilawati. (2003). Hubungan antara Profesionalisme dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan.Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.1206–1220.

Institut Akuntan Publik Indonesia. (2008). Directory 2008 Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik. Jakarta.

Lekatompessy, J.E. (2003). Hubungan Profesionalisme dengan konsekuensinya: Komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan Keinginan Berpindah (Studi Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.5, No.1,April, hlm.69–84.

Mulyadi. (2002). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Murtanto dan Marini. (2003). Persepsi Akuntan Pria dan Akuntan Wanita serta Mahasiswa dan Mahasiswi Akuntansi terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi Akuntan, Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.790–805.

Noviyani, P. dan Bandi. (2002). Pengaruh Pengalaman dan Penelitian terhadap Struktur Pengetahuan Auditor tentang Kekeliruan.Prosiding Simposium Nasional Akuntansi V, September, hlm.481–488.

Sularso, S., dan Ainun N. (1999). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dan Penggunaan Intuisi dalam Mendeteksi Kekeliruan. Jurnal Riset Akuntansi IndonesiaVol.2, No.2, Juli, hlm.154–172.

Sabtu, 25 Oktober 2014

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

Kelompok III
Nama Anggota kelompok:
1. Aghnia Nuru Rahmah    (20211305)
2. Belli Febriani                 (21211456)
3. Indah Hertati Eka Putri  (23211560)
4. Istiana Khairany             (23211744)
5. Lasnatun                        (28211075)

Judul Buku : PROFESI AKUNTAN PUBLIK DI INDONESIA

Buku Profesi Akuntan Publik di Indonesia ini membahas permasalahan-permasalahan profesi Akuntan Publik di Indonesia terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik (UU Akuntan Publik). Pembahasan buku ini difokuskan pada implikasi pemberlakuan UU Akuntan Publik terhadap independensi dan peranan profesi tersebut dalam mendukung implementasi GCG di Indonesia. Buku ini merupakan suatu kritik terhadap UU Akuntan Publik yang telah diberlakukan pada tahun 2011.

Buku ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui bagaimana pandangan pemerintah dan pembuat undang-undang terhadap profesi Akuntan Publik sebagai bagian dari sistem ekonomi saat ini.

Buku ini memuat materi sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Profesi Akuntan Publik sebagai Bagian dari Good Corporate Governance
Bab 3 Jenis-Jenis Penugasan Profesi Akuntan Publik dan Tanggung Jawab Hukum Profesi Akuntan Publik
Bab 4 Model Regulasi Profesi Akuntan Publik
Bab 5 Regulasi Profesi Akuntan Publik di Indonesia
Bab 6 Implikasi  Kewenangan Menteri Keuangan dalam Pemberian Izin dan Pembinaan Profesi Akuntan Publik
Bab 7 Penutup
Disertai lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik.

Tahun Terbit : 2012 
Penerbit : GRAHA ILMU



Sabtu, 31 Mei 2014

Tugas 3 Bahasa Inggris Bisnis 2 : Tugas Individu

1. Seorang Ibu memiliki Feeling yang kuat kepada anaknya.
    true : seorang Ibu memiliki Perasaan/Firasat yang kuat kepada anaknya.
2.Wanita itu pakaian nya bergaya Fashionable .
    true : Wanita itu pakaiannya bergaya Modern.
3. Ada kesalah pahaman antara sepasang kekasih itu karena Miss Communication.
   true : ada kesalah pahaman antara sepasang kekasih itu karena melewatkan komunikasi.
4. Dosen mata kuliah softskill selalu datang On Time.
    true : dosen mata kuliah softskill selalu datang Tepat Waktu.
5. Sudah lama aku tidak bertemu sahabat ku karena Lost Contact
    true : sudah lama aku tidak bertemu sahabat ku karena Kehilangan Komunikasi
6. Kemarin Dia Meremove temannya dari daftar pertemanannya di jejaring sosial.
    true : kemarin dia Menghapus temannya dari daftar pertemannya di jejaring sosial. 
7. Sahabatku Menginvite aku ke acara pernikahannya 
    true : sahabatku Mengundang aku ke acara pernikahannya
8. Perusahaan itu sedang Mengrecruitment karyawan baru
     true : perusahaan itu sedang menerima Karyawan baru
9. "Bisakah kamu Mengadd aku kedalam twittermu?"
     true : bisakah kamu Menambahkan aku kedalam twitter mu?"
10. Temanku Merecommended aku untuk masuk ke perusahaan itu
      true : temannku Menyarankan aku untuk masuk ke perusahaan itu 

Rabu, 30 April 2014

Tugas 2 Bahasa Inggris Bisnis_2 Tugas Individu

Report: Global Warming Changing Our Lives

By: Seth Borenstein | Associated Press
Published: January 14, 2013

WASHINGTON -- Global warming is already changing America from sea to rising sea and is affecting how Americans live, a massive new federally commissioned report says.
A special panel of scientists convened by the government issued Friday a 1,146-page draft report that details in dozens of ways how climate change is already disrupting the health, homes and other facets of daily American life. It warns that those disruptions will increase in the future.
"Climate change affects everything that you do," said report co-author Susan Cutter, director of the Hazards and Vulnerability Research Institute at the University of South Carolina. "It affects where you live, where you work and where you play and the infrastructure that you need to do all these things. It's more than just the polar bears."
The blunt report takes a global environmental issue and explains what it means for different U.S. regions, for various sectors of the economy and for future generations.
The National Climate Assessment doesn't say what should be done about global warming. White House science adviser John Holdren writes that it will help leaders, regulators, city planners and even farmers figure out what to do to cope with coming changes.
And climate change is more than hotter temperatures, the report said.
"Human-induced climate change means much more than just hotter weather," the report says, listing rising-seas, downpours, melting glaciers and permafrost, and worsening storms. "These changes and other climatic changes have affected and will continue to affect human health, water supply, agriculture, transportation, energy, and many other aspects of society."
The report uses the word "threat" or variations of it 198 times and versions of the word "disrupt" another 120 times.
If someone were to list every aspect of life changed or likely to be altered from global warming, it would easily be more than 100, said two of the report's authors.
The report, written by team of 240 scientists, is required every four years by law. The first report was written in 2000. No report was issued while George W. Bush was president. The next one came out in 2009. This report, paid for by the federal government, is still a draft and not officially a government report yet. Officials are seeking public comments for the next three months.
This version of the report is far more blunt and confident in its assessments than previous ones, Hayhoe said: "The bluntness reflects the increasing confidence we have" in the science and day-to-day realities of climate change."There is so much that is already happening today," said study co-author Katharine Hayhoe, director of the Climate Science Center at Texas Tech University. "This is no longer a future issue. It's an issue that is staring us in the face today."
The report emphasizes that man-made global warming is doing more than just altering the environment we live in, it's a threat to our bodies, homes, offices, roads, airports, power plants, water systems and farms.
"Climate change threatens human health and well-being in many ways, including impacts from increased extreme weather events, wildfire, decreased air quality, diseases transmitted by insects, food and water, and threats to mental health," the report said.
"Climate change and its impacts threaten the well-being of urban residents in all 13 regions of the U.S.," the report said. "Essential local and regional infrastructure systems such as water, energy supply, and transportation will increasingly be compromised by interrelated climate change impacts."
For example, the report details 13 airports that have runways that could be inundated by rising sea level. It mentions that thawing Alaskan ground means 50 percent less time to drill for oil. And overall it says up to $6.1 billion in repairs need to be made to Alaskan roads, pipelines, sewer systems, buildings and airports to keep up with global warming.
Sewer systems across America may overflow more, causing damages and fouling lakes and waterways because of climate change, the report said. The sewer overflows into Lake Michigan alone will more than double by the year 2100, the report said.
While warmer weather may help some crops, others will be hurt because of "weeds, diseases, insect pests and other climate change-induced stresses," the report said. It said weeds like kudzu do better with warmer weather and are far more likely to spread north.
"Several populations - including children, the elderly, the sick, the poor, tribes and other indigenous people - are especially vulnerable to one or more aspects of climate change," the report said.

sumber : http://www.wunderground.com/news/global-warming-report-20130114

Minggu, 30 Maret 2014

English Task: Cultural Etiquette in Business (Group Assignment)

Members of the group:
  1. Belli Febriani
  2. Istiana Khairany
  3. Isye Siti Sarah
  4. Nurul Sukma Putri
Class: 3EB14


In this globalization era, many companies are expanding to all corners of the world. Ethic of business communication in today's global era being in the spotlight, whether they uphold ethical or not.


When doing business with local people who have basically the same ethics and culture with us, then there will no big deal. But what if we want to expand our business and market share to other countries and we have to cooperate with foreigners? 
First of all, we really have to know of their culture in order to succeed in business. We often see a partnership fail just because of misunderstanding due to cultural differences, so that is what we should avoid.
If we already understand how our business partner's culture and ethic, it will be easier to make a deal and bring benefits to both sides.

In this case, we are planning to starting business with the Japanese. We will try to explain how Japanese business culture and ethics, here we go..

1. The People
Japan is a highly structured and traditional society. Great importance is placed on loyalty, politeness, personal responsbility and on everyone working together for the good of the larger group. Education, ambition, hardwork, patience and determination are held in the highest regard. The crime rate is one of the lowest in the world.

2. Meeting and Greeting
  • A handshake is appropriate upon the meeting. The Japanese handshake is limp and with little or no eye contact.
  • Some Japanese bow and shake hands. The bow is a highly regarded greeting to show respect and is appreciated by the Japanese. A slight bow to show courtesy is acceptable.
3. Body Language 
  • Nodding is very important. When listening to Japanese speak, especially in English, you should nod to show you are listening and understanding the speaker.
  • Silence is a natural and expected form of non-herbal communication. Do not feel a need to chatter.
  • Do not stand close to a Japanese person. Avoid touching.
  • Prolonged eye contact (staring) is considered rude.
  • Don't show affection, such as hugging or shoulder slapping, in public.
  • Never beckon with your forefinger. The Japanese extend their right arm out in front, bending the wrist down, waving fingers. Do not beckonolder people.
  • Sit erect with both feet on the floor. Never sit with ankle over knee.
  • Waving a hand back and forth with palm forward in front of face means "no" or "I don't know". This is a polite response to a compliment
  • Never point at someone with four fingers spread out and thumb folded in.
4. Corporate Culture
  • Punctuality is a must in all business and social meetings.
  • Any degree of knowledge of Japanese culture is greatly appreciated.
  • Japanese may exchange business cards even before they shake hands or bow. Be certain your business card clearly states your rank. This will determine who your negotiating counterpart should be.
  • Bear in mind that initial negotiations begin with middle managers. Do not attempt to go over their heads to senior management.
  • It is acceptable to use Japanese company interpreter in the first meeting. Once negotiations begin, hire your own interpreter.
  • Both business and personal relationship are hierarchical. Older people have higher status than younger, men higher than women and senior executives higher than junior executives.
  • It is very important to send a manager of the same rank to meet with a Japanese colleague. Title is very important.
  • Work is always undertaken as a group. The workgroup is strongly united with no competition; all succeed or all fail. Decision-making is by consesus. Everyone on the work team must be consulted before making decisions. This is a very low process.
  • The first meeting may focus on establishing an atmosphere of friendliness, harmony, and trust. Business meetings are conducted formally, so leave your humor behind. Always allow ten minutes of polite conversation before beginning business meetings.
  • It takes several meetings to develop a contract. When the time comes, be content to close a deal with a handshake. Leave the signing of the written contract to later meetings.
  • Etiquette and harmony are very important. "Saving face" is a key concept. Japanese are anxious to avoid unpleasantness and confrontation. Try to avoid saying "no". Instead, say, "This could be very difficult," allowing colleagues to save face.
  • Proper introduction to business contacts is a must. The introducer becomes a guarantor for the person being introduced.
  • Do not bring a lawyer. It is important to build business relationships based on trust. The Japanese do not like complicated legal documents. Write contracts that cover essential points.
5. Dining and Entertainment
  • Restaurant entertaining  is crucial to business. A person is judged by his/her behavior during and after business hours. Seldom is a business deal completed without dinner in a restaurant.
  • Drinking is a group activity. Do not say "no" when offered a drink.
  • An empty glass is the equivalent of asking for another drink. Keep your glass at least half full if you do not want more. If a Japanese person attempts to pour more and you do not want it, put your hand over your glass, or fill it with water if necessary.
  • An empty plate signals a desire for more food. Leave a little food on your plate when you are finished eating.
  • When drinking with a Japanese person, fill his glass or cup after he has filled yours. While he is pouring, hold your cup or glass up so he can fill it easily. Never pour your own drink and always pour your companion's.
  • Toasting  is very important in Japan and many toasts are offered during the course of an evening. At dinner, wait for the toast before you drink. Respond to each toast with a toast.
  • Wait  for the most important person (honored guest) to begin eating. If you are the honored guest, wait until all the food is on the table and everyone is ready before you eat.
  • When offered food, it is polite to hesitate before accepting. You do not have to eat much, but it is rude not to sample each dish.
  • It  is acceptable to slurp noodles. Some Japanese believe that it makes them taste better.
  • Do not finish your soup before eating other foods. It should accompany your meal. Replace the lid of the soup bowl when finished eating.
6. Dress
  • Dress is modern and conservative. The Japanese dress well at all times. Dress smartly for parties, even if an invitation says "Casual" or "Come as you are."
  • For business, men should wear dark suits and ties (subtle colors).
  • Women should wear dresses, suits and shoes with heels. Subtle colors and conservative styles are best for business.
These above examples point to a few considerations one must make when dealing business with the Japanese. Cross cultural awareness in areas such as meeting etiquette, business protocol and approaches to doing business are ways of enhancing your business trip and maximizing your potential.

References:
  1. www.venturejapan.com
  2. www.ediplomat.com
  3. www.wikipedia.org

Kamis, 16 Januari 2014

Tugas Softskill Bahasa Indonesia 2 (4) : Tugas Personal

ABSTRAK

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI RUMAH MAKAN AYAM KREMES KAMPUS E UNIVERSITAS GUNADARMA.

Pelayanan adalah segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan guna memenuhi harapan konsumen. Pelayanan dalam hal ini diartikan sebagai jasa atau service yang disampaikan oleh pemilik jasa yang berupa kemudahan, kecepatan, hubungan, kemampuan dan keramah tamahan yang ditujukan melalui sikap dan sifat dalam memberikan pelayanan untuk kepuasan konsumen.
Kepuasan pelanggan adalah suatu keadaan dimana keinginan, harapan dan kebutuhan pelanggan dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kepuasan pelanggan dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data. Data yang dikumpulkan melalui kuesioner yang dibagikan kepada 50 pelanggan rumah makan ayam kremes kampus E Universitas Gunadarma.  Hasil yang diharapkan dari penelitian ini pelanggan merasakan adanya kepuasan dan dampaknya bagi rumah makan tersebut akan memperoleh laba maksimum.